nusakini.com - Agroekologi bukanlah hal baru di Indonesia, namun penerapan pertanian yang mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan ini mulai cukup sulit untuk ditemukan. Padahal ini sangat penting untuk merawat Indonesia, merawat keragaman hayati, merawat tanah dan merawat air Indonesia.

Begitu pentingnya agroekologi, hingga IAASTD ( International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development), sebuah organisasi internasional yang bergerak dalam bidang pembangunan pertanian yang terdiri dari 400 ilmuwan dan ahli pengembangan dari 80 negara, pada tahun 2009, menyatakan bahwa pertanian skala kecil dan agroekologi dapat memberi makan dunia.

Adalah JAGA (Jaringan Agroekologi Indonesia), sebuah jaringan yang berkomitmen untuk menyebarkan prinsip-prinsip agroekologi ke masyarakat. JAGA dibentuk pada tahun 2015 oleh sebelas orang Indonesia yang memiliki latar belakang berbeda dari berbagai daerah di Indonesia dengan satu tujuan untuk memperkenalkan dan menyebarkan penerapan agroekologi di Indonesia. Kesebelas orang yang berada di belakang JAGA merupakan alumni penerima beasiswa sebuah program pelatihan agroekologi selama satu bulan di Navdanya India pada tahun 2015. Navdanya adalah organisasi non-pemerintah yang peduli akan konservasi keragaman hayati dan pertanian yang didirikan oleh Dr Vandana Shiva.

Tahun ini JAGA berkolaborasi Navdanya dan partner-partner lokal menyelenggarakan kegiatan tentang agroekologi dengan mengambil tema “Celebrating Seed Freedom and Agroecology“ (Merayakan Kemerdekaan Benih dan Agroekologi). Tim Navdanya terdiri dari Ruchi Shroff, Direktur Navdanya Internasional, yang akan memaparkan berbagai inisiatif di belahan dunia lain tentang penyelamatan benih-benih lokal dan isu-isu yang berkaitan dengannya; dan Darwan Singh Negi yang akan berbagi pengetahuan praktis tentang segala sesuatu berkaitan dengan benih.

Kegiatan pertama JAGA ini akan berlangsung di tiga kota di Indonesia, yaitu Jember (28-29 Oktober 2017), Jogjakarta (31 Oktober 2017), dan Ubud (4 November 2017). Berbagai kegiatan akan digelar antara lain diskusi dan debat terbuka tentang berbagai isu yang ditemui di sistem pangan Indonesia dan global, baik tantangan maupun potensi, seperti misalnya regulasi tentang benih, GMO, penggunaan pestisida di lahan, kekayaan hayati di Indonesia, kondisi tanah yang semua itu saling berkaitan satu sama lain. Benih-benih lokal dan warisan tidak akan terselamatkan tanpa mengatasi isu-isu tersebut. Selain itu akan ada pertunjukan seni, pemutaran film tentang benih dan workshop tentang teknik-teknik penyimpanan benih dan bagaimana membangun bank benih berbasis komunitas.

Benih menjadi titik berat kegiatan kami karena benih, sebagai titik awal sebuah sistem pangan, saat ini telah dimonopoli dan dikomodifikasi oleh segelintir perusahaan besar. Kedaulatan pangan tidak akan terwujud tanpa kedaulatan benih. Indonesia telah kehilangan 90% dari keanekaragaman hayatinya karena berbagai hal: industrialisasi pertanian, perubahan iklim, pembangunan dan lain-lain. Rangkaian kegiatan ini hanyalah langkah awal dari gerakan kami ke depan untuk menciptakan sebuah sistem pangan yang regeneratif. (p/ma)